Share

Pendidikan Inklusif di Indonesia: Antara Optimisme Cahaya Manthovani dan PR Besar Kolaborasi Lintas Sektor

Pendidikan Inklusif di Indonesia: Antara Optimisme Cahaya Manthovani dan PR Besar Kolaborasi Lintas Sektor Kondisi pendidikan inklusif di Indonesia menjadi sorotan. Cahaya Manthovani, Ketua Harian Yayasan Inklusi Pelita Bangsa, memberikan pandangannya yang optimis namun realistis. Menurutnya, pendidikan inklusif di Tanah Air masih dalam proses pertumbuhan. "Masyarakat dan juga pemerintah itu mulai mengarah kepada semua anak-anak, baik mereka punya ataupun tidak punya disabilitas, dan juga tanpa melihat background, itu semua adik-adik wajib mendapatkan pendidikan yang setara," jelas Cahaya. Visi kesetaraan ini adalah fondasi ideal. Namun, dia tak menampik realita di lapangan. "Inklusivitas belum menjadi arus utama, tetapi masih menjadi inisiatif segelintir pihak," katanya. Meski demikian, Cahaya tetap memancarkan optimisme. "Saya tetap optimis kita tetap bergerak maju dan tidak hanya berdiam di tempat yang sama," tegasnya. Dia yakin, banyak yayasan, komunitas, dan individu yang tergerak untuk terus menjadikan inklusivitas sebagai sistem penting dalam masyarakat. Baginya, ini adalah proses pembelajaran kolektif. "Kita ini semua sedang belajar untuk menciptakan ruang yang aman untuk adik-adik kita ini. Sehingga mungkin ke depannya sambil kita belajar, kita juga sambil merevisi sistem dan juga memperbaiki hal-hal yang harus kita perbaiki." Dalam mendukung pendidikan inklusif, peran pemerintah diakui Cahaya Manthovani sudah cukup baik. "Pemerintah itu sudah melakukan pekerjaan dan juga effort yang bagus, cukup bagus," pujinya. Namun, tantangan terbesar terletak pada eksekusi di lapangan. "Salah satu tantangan terbesar pemerintah adalah kurangnya tenaga pendidikan yang terlatih dan juga kurangnya sekolah reguler yang bisa menampung anak-anak berkebutuhan khusus secara adil dan setara," ungkap Cahaya. Problem klasik ini memang kerap menjadi kendala utama dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang merata. Melihat tantangan tersebut, Cahaya Manthovani menawarkan solusi konkret: berkolaborasi antara lintas sektor. Menurutnya, ini berarti adanya sinergi antara Kementerian Pendidikan, Kesehatan, dan Sosial, serta keterlibatan aktif dari pihak swasta dan masyarakat sipil. "Jadi mungkin kalau kita bekerja bersama, bergerak bersama, mungkin perubahan sistemik akan berjalan dengan lancar," harapnya. Harapan Cahaya untuk 5 tahun ke depan pun sangat jelas. Dia berharap ekosistem inklusif, khususnya di bidang pendidikan, tidak lagi menjadi sistem pinggiran, melainkan menjadi sistem nasional yang utuh. Dengan begitu, perhatian pemerintah terhadap anak-anak berkebutuhan khusus akan lebih terpusat dan terarah. "Saya berharap pemerintah dan juga masyarakat dan seluruh pihak itu lebih menjunjung tinggi rasa keberagaman dan kesetaraan dan semoga pendidikan inklusif menjadi pendidikan yang penting untuk Indonesia," tutup Cahaya Manthovani, menyoroti pentingnya nilai-nilai inklusi sebagai landasan kemajuan bangsa.

Kondisi pendidikan inklusif di Indonesia menjadi sorotan. Cahaya Manthovani, Ketua Harian Yayasan Inklusi Pelita Bangsa, memberikan pandangannya yang optimis namun realistis. Menurutnya, pendidikan inklusif di Tanah Air masih dalam proses pertumbuhan.

“Masyarakat dan juga pemerintah itu mulai mengarah kepada semua anak-anak, baik mereka punya ataupun tidak punya disabilitas, dan juga tanpa melihat background, itu semua adik-adik wajib mendapatkan pendidikan yang setara,” jelas Cahaya.

Visi kesetaraan ini adalah fondasi ideal. Namun, dia tak menampik realita di lapangan. “Inklusivitas belum menjadi arus utama, tetapi masih menjadi inisiatif segelintir pihak,” katanya.

Meski demikian, Cahaya tetap memancarkan optimisme. “Saya tetap optimis kita tetap bergerak maju dan tidak hanya berdiam di tempat yang sama,” tegasnya.

Dia yakin, banyak yayasan, komunitas, dan individu yang tergerak untuk terus menjadikan inklusivitas sebagai sistem penting dalam masyarakat. Baginya, ini adalah proses pembelajaran kolektif.

“Kita ini semua sedang belajar untuk menciptakan ruang yang aman untuk adik-adik kita ini. Sehingga mungkin ke depannya sambil kita belajar, kita juga sambil merevisi sistem dan juga memperbaiki hal-hal yang harus kita perbaiki.”

Dalam mendukung pendidikan inklusif, peran pemerintah diakui Cahaya Manthovani sudah cukup baik. “Pemerintah itu sudah melakukan pekerjaan dan juga effort yang bagus, cukup bagus,” pujinya.

Namun, tantangan terbesar terletak pada eksekusi di lapangan. “Salah satu tantangan terbesar pemerintah adalah kurangnya tenaga pendidikan yang terlatih dan juga kurangnya sekolah reguler yang bisa menampung anak-anak berkebutuhan khusus secara adil dan setara,” ungkap Cahaya.

Problem klasik ini memang kerap menjadi kendala utama dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang merata. Melihat tantangan tersebut, Cahaya Manthovani menawarkan solusi konkret: berkolaborasi antara lintas sektor.

Menurutnya, ini berarti adanya sinergi antara Kementerian Pendidikan, Kesehatan, dan Sosial, serta keterlibatan aktif dari pihak swasta dan masyarakat sipil.

“Jadi mungkin kalau kita bekerja bersama, bergerak bersama, mungkin perubahan sistemik akan berjalan dengan lancar,” harapnya.

Harapan Cahaya untuk 5 tahun ke depan pun sangat jelas. Dia berharap ekosistem inklusif, khususnya di bidang pendidikan, tidak lagi menjadi sistem pinggiran, melainkan menjadi sistem nasional yang utuh. Dengan begitu, perhatian pemerintah terhadap anak-anak berkebutuhan khusus akan lebih terpusat dan terarah.

“Saya berharap pemerintah dan juga masyarakat dan seluruh pihak itu lebih menjunjung tinggi rasa keberagaman dan kesetaraan dan semoga pendidikan inklusif menjadi pendidikan yang penting untuk Indonesia,” tutup Cahaya Manthovani, menyoroti pentingnya nilai-nilai inklusi sebagai landasan kemajuan bangsa.

Cahaya Manthovani, Makan Bergizi Gratis, Yayasan Inklusi Pelita Bangsa