Share

Merajut Masa Depan Inklusif, Kiprah Nyata Yayasan Inklusi Pelita Bangsa di Bawah Nakhoda Cahaya Manthovani

Di tengah retorika tentang pentingnya pendidikan inklusif, Yayasan Inklusi Pelita Bangsa (YIPB) hadir sebagai garda terdepan yang menerjemahkan gagasan mulia tersebut menjadi aksi nyata.

Di bawah kepemimpinan Cahaya Manthovani, YIPB tidak hanya membuka pintu akses pendidikan bagi semua anak, tetapi juga membangun jembatan empati, memahami perbedaan, dan memfasilitasi potensi unik setiap individu.

Cahaya Manthovani menekankan inklusi sejati melampaui isu disabilitas, merangkul keberagaman identitas, ekonomi, hingga budaya. Melalui YIPB, ia mewujudkan pendidikan yang memanusiakan, di mana inklusi bukan lagi konsep eksklusif dalam seminar, melainkan denyut nadi dalam keseharian.

“Saya ingin pendidikan inklusif tidak lagi dianggap sebagai alternatif. Semua anak berhak tumbuh dan belajar dalam sistem yang menerima mereka apa adanya. Karena setiap anak adalah aset, bukan beban,” tegasnya.

Program Makan Bergizi Gratis

Salah satu program unggulan YIPB yang memberikan dampak langsung adalah Makan Bergizi Gratis (MBG). Inisiatif ini secara rutin menyediakan makanan sehat bagi murid dan guru di berbagai Sekolah Luar Biasa (SLB) di Tangerang Raya.

Hebatnya, program ini melibatkan kolaborasi apik dengan berbagai pihak, termasuk OVO, Grab Indonesia, dan UMKM lokal, menciptakan ekosistem dukungan yang saling menguatkan dan memberdayakan komunitas sekitar.

Semangat yang sama juga berkobar di Jakarta, di mana YIPB mendistribusikan paket sembako dan makanan bergizi untuk siswa SLB Negeri 7. Tujuannya sederhana namun krusial: memastikan kebutuhan nutrisi anak-anak terpenuhi agar mereka dapat belajar dengan optimal.

YIPB kini tengah berupaya memperluas jangkauan program MBG ke berbagai pelosok Indonesia, membawa misi pemerataan gizi dan inklusi sosial yang berkelanjutan.

Butuh Dukungan Masyarakat

Namun, Cahaya menyadari program-program konkret ini tidak akan cukup tanpa perubahan mendasar dalam cara pandang masyarakat. Tantangan terbesar dalam implementasi pendidikan inklusif bukanlah sekadar infrastruktur atau kurikulum, melainkan minimnya pemahaman tentang kebutuhan anak-anak dengan disabilitas.

“Anak-anak ini punya potensi luar biasa. Sayangnya, banyak yang masih melihat mereka sebagai beban,” ungkapnya prihatin.

Oleh karena itu, YIPB mengadopsi pendekatan dialogis yang melibatkan orang tua, guru, dan komunitas lokal. Mereka tidak hanya memberikan bantuan satu arah, tetapi membangun kemitraan yang didasari oleh prinsip saling belajar.

Kolaborasi dengan berbagai pihak, mulai dari pelaku usaha hingga lembaga pendidikan, dirancang untuk menciptakan model inklusi yang dapat direplikasi di berbagai daerah. “Kami tidak datang sebagai penyelamat, tapi sebagai mitra. Kami belajar bersama,” tegas Cahaya.

Bagi Cahaya, pendidikan inklusif adalah tolok ukur martabat sebuah bangsa. Ia mendorong sinergi lintas sektor dan kementerian agar gerakan ini tidak berjalan sendiri-sendiri atau bersifat sementara.

“Selama masih ada satu anak yang tertinggal karena sistem tidak memberi ruang, maka kita gagal,” katanya dengan nada penuh harap.

Dalam visinya untuk lima tahun ke depan, Cahaya memiliki harapan besar agar pendidikan inklusif tidak lagi menjadi program pinggiran, melainkan terintegrasi sepenuhnya dalam sistem pendidikan nasional.

Ia menyerukan kebijakan yang tidak hanya normatif, tetapi juga operasional dan aplikatif di tingkat satuan pendidikan. Lebih dari sekadar kebijakan, Cahaya meyakini perubahan budaya adalah kunci utama.

Ketika orang tua tidak lagi menyembunyikan anak-anak istimewa mereka, ketika guru menyambut keberagaman dengan hati terbuka, dan ketika teman sebaya belajar menghargai perbedaan, di sanalah pendidikan inklusif benar-benar hidup dan mewarnai wajah Indonesia yang diimpikannya.

Sumber: Womens Obsession

Cahaya Manthovani, Grab Indonesia, Makan Bergizi Gratis, OVO, Yayasan Inklusi Pelita Bangsa